
Hate the Time when I can't Love You Anymore
Blog yang Berdebu

Dulu, sebuah fiksi sederhana.
DULU
Oleh Hakuya Debora (aka debooohhh)
2011
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto 1999
Family-HurtComfort fic.
AU / Next Generation Characters / OoC (I’m trying so hard) / Typo / Abal / Mental Illness (later).
.
“Momma, kapan aku punya adik baru?”
“…”
“Mom?”
“…Tidak akan pernah, Anakku.” Terisak.
“Ke-kenapa?”
“…”
.
.
“Kau akan punya adik, Kazuka.”
“WAH! Benarkah itu, Dad?”
“…Adik tiri,”
“A-apa maksudmu?”
.
.
.
Dulu, 9 tahun yang lalu. Daddy-ku, Uchiha Sasuke dan Momma-ku, Haruno Sakura adalah pasangan suami istri yang tercocok yang pernah kukenal. Mereka adalah orang tua sempurna, dulu.
Dulu, dua hal yang membangunkanku dari mimpi indah adalah kecupan manis Momma dan sebuah tangan hangat besar yang menggendongku.
Dulu, dua hal yang mengantarkanku pada mimpi indah adalah sebuah nyanyian nina bobo yang romantis dari Mom dan tepukan hangat punggungku.
Dulu, dua hal yang menghentikanku dari tangisku adalah sebuah usapan air mata oleh tangan lembut Mom dan sebuah tatapan tajam dari Dad.
Dulu, dua hal yang membuatku tersenyum lebar adalah sebuah humor tak lucu dari Ibu dan segelintir gelitikan yang didaratkan Ayah di sekitar perutku.
.
Tahukah kalian, bagaimana aku sangat membenci kata ‘dulu‘?
Tahukah kalian, bagaimana aku sangat ingin ‘dulu‘ itu tetap berlangsung sampai sekarang?
Kalian tak ‘kan tahu sampai kalian merasakan apa yang kurasakan.
.
.
“Sekolah yang benar, ya, Kazuka-kun.” Tersenyum getir, Mom mengelus kepalaku pelan. Aku hanya mengangguk pelan lalu bergegas keluar dari mobil. “Have a nice day, Momma!” teriakku sebelum menutup pintu mobil.
Momma memerah. Bukan. Bukan pipinya yang memerah, tapi…
Matanya.
Dua detik setelah aku membanting pelan pintu mobil, aku tertegun. Setetes air mata meluncur begitu saja dari mata emerald, Momma.
Dan kemudian, mobil melesat dengan kecepatan rata-rata meninggalkan sekolah ini.
.
Mengapa Mom menangis?
Hanya itu yang terus-terusan kupertanyakan di dalam otakku sejak jam pelajaran pertama. Ada rasa yang bergemuruh di dadaku. Seakan-akan rasa itu menusuk setengah bagian dari jantungku ketika membayangkanMom menangis.
Maka kuputuskan untuk bertanya pada Kakashi—guru Mom dan Dadketika bersekolah di sini dulu-pria tua yang menjadi kakekku.
Di sinilah aku, duduk di depan meja seorang headmaster. Sampai sekarang, Kakashi masih belum mengajakku bicara. Cih, sepertinya orang tua ini ingin aku yang memulai percakapan.
“Kakashi…”
“Panggil aku Jii-san, Kazu.”
“Hn, Kakashi.”
“Sepertinya sifat menyebalkanmu itu tertular dari Daddy-mu itu ya. Haha.” Ck, tawa baritonnya menggema. Berisik sekali.
“Haha, maaf, maaf. Aku jadi ingin bernostalgia dengan mereka.” Nyengir, Kakashi menatapku dengan tatapan yang menurutku tak menunjukkan rasa bersalahnya. Akupun memutar bola mata bosan.
“Hmph, jadi. Apa masalahmu?” Hening sesaat, pria yang rambutnya selalu beruban itu menatapku serius. Hah, kusangka dia akan terus tertawa.
“Momma-ku.”
“Hn? Kenapa dengan Sakura-chan? Dia sakit? Apa perlu kupanggilkan dokter? Ah, kurasa Sasuke bisa—”
“Tidak, Mom tidak kelihatan seperti orang sakit. Dia… Dia menangis tadi pagi.”
Kulihat Kakashi melipat keningnya yang sudah keriput itu. Aku menelan ludah diam-diam, sepertinya Kakashi pun tak tahu jawaban pertanyaanku ini. Cih, sia-sia aku menghabiskan waktu—
“Mungkin dia sedang mengalami sakit pra menstruasi? Atau Sakura terharu melihatmu sudah besar dan pintar seperti ini? Sudahlah, Kazu-kun. Perempuan menangis itu biasa.” Benarkah? Tidak, kurasa tidak begitu. Ada yang aneh dengan tangisan Momma tadi pagi. Walau hanya setetes yang kulihat, dadaku sesak sampai sekarang. Entahlah.
“Pra-menstruasi katamu? Hari ini tanggal 15, Kakashi. Momma selalu datang bulan tanggal 28. Seumur hidupnya, dia tak pernah mengalami telat datang bulan kecuali ketika mengandungku,” Aku memutar bola mata lagi, “dan juga, terharu? Cih. Bahkan Momma tidak pernah terharu melihatku menang olimpiade sampai ke tingkat Nasional. Bagaimana mungkin dia bisa terharu melihatku sudah sebesar ini? Mustahil.”
“Hey, Nak. Tiada yang mustahil di dunia ini.” Kakashi menepuk pundakku pelan. Seolah-olah berusaha menyakinkanku. Ck, dipikirnya aku ini anak 5 tahun yang tak tahu apa-apa.
“Beda, Kakashi. Ini beda…” Kakashi tak menyahut. Barangkali menyuruhku untuk melanjutkan. “Tangis Momma tadi seperti… Seperti tangis Bibi Hinata waktu Hiashi-jiisan meninggal. Setetes namun kepedihannya terasa bagi orang yang melihatnya…”
Hening menyesap. Kakashi memandangiku penuh arti, bahkan sepertinya dia tak sadar bahwa berkali-kali aku menghela napas panjang. Kali ini aku ingin jawabannya lebih masuk akal.
“Sepertinya Momma-mu itu sedang teringat dengan Daddy-nya, Kakekmu.” Kakashi beranjak dari tempat duduknya, melangkah perlahan ke jendela ruangan ini.
Benarkah? Momma sedang ingat kenangannya bersama Kakek? Tapi tidak mungkin hal itu sampai membuatnya menangis. Dia bahkan tidak mengisak saat kami menjenguk makam Kakek.
“Tapi Momma tak secengeng itu, Kakashi.” Dari sudut mataku, bisa kulihat Kakashi kini berjalan ke arahku. Sepertinya kali ini dia akan kalah dengan argumenku.
“Sudahlah, ayo masuk kelasmu. Kauhabiskan waktu makan siangmu di sini.”
“Aku tak peduli. Tidak makan berhari-hari pun aku sanggup bila semuanya bisa membuat senyum Momma kembali lagi.” Aku berdiri. Tekadku bulat sekarang. Aku akan mencari tahu semuanya, semua hal yang membuat Momma menangis sendu. Aku tak ingin melihat bidadari jantungku itu menangis lagi. Aku bersumpah.
Bisa kurasakan tangan besar Kakashi mendorongku pelan untuk keluar dari ruangannya. Hei, apa-apaan ini? Dia mengusirku? Cih, sial.
“Oh ya, aku akan mengantarmu pulang sekolah nanti. Sekalian aku ingin ngobrol dengan Mom dan Dad-mu. Kembalilah ke sini seusai jam pelajaran terakhir, okey?”
Yes! Ini kesempatanku untuk menguping pembicaraan mereka dan mengetahui sebenarnya apa yang membuat Momma menangis.
.
.
“MOM, aku pulang!” Aku membuka sepatu sekolah yang sedari tadi membuatku penat ini. Lalu dengan secepat kilat merebahkan diri di atas sofa ruang tamu yang empuk. Menghela napas, aku menoleh ke arah Kakashi. “Mom, ada tamu.” teriakku lagi.
Bisa kudengar suara langkah kaki Mom mendekat. Setiap detiknya, aku selalu berharap agar Mom tidak menyambutku dengan wajah yang sendu lagi, seperti kemarin. “Kazuka, cepat cuci kakimu dan makan siang.” perintah Mom sembari memindahkan sepatu sekolahku ke rak sepatu. “Oh, hai, Kakashi-sensei. Tumben kau kemari tak bilang-bilang—“ aku memutar bola mataku, Mom berbasa-basi lagi, “mau makan siang bersama kami?”
Sesuatu yang kutunggu. Siapa tahu saja mereka akan membicarakannya di meja makan. Dengan begini, aku tak perlu repot-repot, bukan?
“Ah, tentu saja, Sakura-chan.” Pria tua itu tersenyum, membuat matanya sudah tak kelihatan lagi. Mom harus tahu ini, Kakashi adalah pria mesum. Bisa saja mata Kakashi saat ini sedang menuju ke bokong Mom atau bahkan ke tempat yang lebih parah lagi. Cih.
Dengan cepat, aku mendorong paksa Kakashi menuju ke meja makan. “Ayo, cepat, Kakashi~!” Tubuh besarnya ini berat juga. Sial.
“Mana Sasuke?” Kakashi mengambil sepuntung rokok dari saku celananya dan mulai menghisapnya.
“Dia… kerja.” Mom menjawab ogah-ogahan. Kulihat, Kakashi hanya memangut-mangut sebentar, lalu duduk di bangku sebelahku. “Hei, Kakashi,” tegurku pelan—lebih tepatnya berbisik.
Kakashi hanya mengangkat alisnya. “Kau akan membahasnya di sini, ‘kan?” Sedetik kemudian, aku benar-benar menyesal telah bertanya. Sial, pasti setelah ini Kakashi akan berhati-hati agar aku tak mendengar pembicaraan mereka.
Kakashi hanya tersenyum hingga matanya menyipit dan kembali pada posisinya.
.
.
Tsk. Benar ‘kan dugaanku, mereka tak membahas apa-apa di meja makan! Lagipula, mana mungkin mereka membiarkan remaja—labil—sepertiku mengetahui masalah Mom kalau masalahnya tak benar-benar serius. Jadi kuputuskan untuk segera tidur siang. Penat sekali rasanya hari ini.
Dan seperti biasa, aku terbangun karena mimpi buruk. Tidak begitu buruk, kupikir. Dalam mimpiku aku hanya melihat Ayah dan Ibu yang sedang duduk diam di dalam suatu ruangan yang dipenuhi orang-orang. Di antara keduanya ada aku. Aku tak tahu tempat macam apa itu, yang jelas mereka saling berdebat yang suaranya sama sekali tak dapat kudengar—lalu orang tua bangka yang sudah tak berambut memukul palu di meja.
Bisa beritahu aku tempat macam apa itu?
.
.
Dua menit aku terengah. Napasku tak beraturan dan peluh mulai mengaliri dadaku. Panas sekali siang ini.
—Hiks.
Tunggu. Isakan siapa itu? Siapa yang menangis?
Kurasa aku mulai panik. Dan dengan cerobohnya aku meninggalkan tempat tidurku yang masih berantakan. Momma pasti akan ngomel setelah ini.
—Hiks.
Tidak. Isakan ini lagi. Kurasa aku harus segera tahu siapa yang menangis? Di rumah ini hanya ada aku, para pembantu dan Momma—ah, Kakashi juga. Pembantu? Tidak mungkin. Kamar pembantu ada di lantai bawah—tepatnya di dekat dapur. Kakashi? Tua bangka itu tak mungkin menangis di rumah orang. Mo-Momma? Jangan sampai!
Maka dengan segera aku berjalan—lebih tepatnya berjingkrak menuju pintu kamar. Untung pintu kamarku hanyalah sebuah pintu geser papan yang sama sekali tak menimbulkan bunyi, ‘cklek’ atau apapun itu.
—HIKS.
Lebih jelas, isakan itu sekarang lebih jelas.
“Sakura-chan, berhentilah—“ Suara Kakashi? Hei, mengapa suaranya tak jelas dari sini?
Dengan lincah, aku berjalan mendekati tangga. Untung ruang tamu tidak langsung menghadap ke tangga, jadi aku bisa menguping tanpa ketahuan. Terkadang aku harus berterima kasih pada siapapun yang mendesain rumah ini.
Oh. Lupakan.
.
“Sensei, a-apa yang harus kulakukan sekarang?” Aku mendengarnya. Suara Momma! Kenapa suara Momma bergetar seperti orang menangis? Sudah kuduga. Momma yang menangis.
“Kurasa Kazu harus tahu ini, Sakura. Jadi dia bisa bersiap-siap akan memilih siapa nantinya.” Kazu? Memilih siapa? Apa maksudnya? Aku benar-benar tak mengerti semua ini.
“TAPI AKU TAK INGIN KAZU MEMILIH!” Momma berteriak sambil terengah-engah. Kudengar Momma menghentakkan kakinya di lantai. “AKU BAHKAN TAK INGIN ADA PERPISAHAN!”
A-apa? Perpisahan? Jangan-jangan…
—Tdak!
Aku mencintai Momma. Lebih dari aku mencintai apapun di dunia ini, aku mencintainya lebih dari Daddy mencintaiku dan Momma.
Kumohon, jangan ada perpisahan!
.
TBC